Penulis: Fadel Rumakat—Pegiat Sosial.
Ambon, Kilaskota.com —Ditengah upaya besar pemerintah pusat dan daerah memberantas kemiskinan, meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM), serta mengikis stigma negatif terhadap Maluku, justru muncul pernyataan ganjil dari seorang pejabat publik. Wakil Gubernur Maluku, Abdullah Vanath, dalam sebuah kunjungan ke Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), menyampaikan pernyataan yang bukan hanya kontroversial, tetapi juga menunjukkan sikap sok pintar—bahkan bisa disebut dungu—dalam memahami dan merasionalisasi realitas sosial dan agama. Ia mengatakan, kira-kira begini: “Hukum Tuhan itu kadang seng mempan, karena firman-firman Allah dalam Hadist dan Alkitab itu juga banyak yang sudah tidak manjur lai, seng bisa sadarkan orang tentang barang itu [miras]”.
Pernyataan ini jelas problematik. Pertama, ia menggugat legitimasi nilai-nilai keagamaan yang selama ini menjadi pijakan moral dalam masyarakat. Kedua, ia merasionalisasi konsumsi sopi—minuman keras tradisional—seolah-olah miras tidak bisa lagi dilarang atas dasar agama karena “hukum Tuhan sudah tidak mempan.” Ini bukan sekadar keliru secara teologis, tapi juga berbahaya secara sosial dan politis.
Sopi dan Bahaya Relativisme Moral
Sopi memang bagian dari tradisi sebagian masyarakat Maluku. Namun dalam praktiknya, ia telah banyak menimbulkan dampak sosial yang destruktif: kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan lalu lintas, konflik antarwarga, hingga rusaknya masa depan generasi muda. Sudah banyak data dan riset menunjukkan bahwa miras, termasuk sopi, menjadi penyebab utama gangguan ketertiban umum di berbagai daerah di Maluku.
Alih-alih mengajak masyarakat untuk mengurangi konsumsi sopi dan mencari pendekatan-pendekatan yang solutif dan bijak, Wakil Gubernur justru terkesan melegitimasi peredaran dan konsumsi miras tersebut. Ia tidak hanya gagal membaca realitas sosial, tetapi juga dengan sembrono menggugat validitas ajaran agama. Pernyataan semacam ini adalah contoh nyata dari relativisme moral pejabat yang kehilangan arah: ketika tidak mampu mencari solusi atas masalah, maka yang disalahkan adalah nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi bangsa ini.
Sok Pintar: Satu Lagi Wajah dari Kedunguan Elite
Ada perbedaan besar antara cerdas dan sok pintar. Orang cerdas tahu batas pengetahuannya, tahu kapan harus diam, dan tahu bagaimana bicara berdasarkan data dan empati. Sementara orang yang sok pintar justru merasa paling tahu segalanya—hingga berani menghakimi ajaran agama dan budaya orang lain.
Wagub Abdullah Vanath telah berkali-kali menunjukkan bahwa ia lebih mengedepankan lidahnya ketimbang pikirannya. Pernyataannya soal “firman Tuhan sudah tidak mempan” adalah bentuk nyata dari sikap sok pintar, yang dalam konteks publik dapat kita sebut sebagai kedunguan. Ia tidak hanya gagal sebagai pemimpin moral, tetapi juga sebagai pejabat negara yang seharusnya menyejukkan, bukan memperkeruh ruang publik dengan tafsir ngawur.
Pemimpin Harus Jadi Kompas Moral, Bukan Penyulut Polemik
Pemimpin, terutama di wilayah dengan kompleksitas sosial dan budaya seperti Maluku, harus mampu menjadi kompas moral. Ketika rakyat bingung, pemimpin hadir membawa pencerahan. Ketika masyarakat terpecah, pemimpin hadir untuk menyatukan. Ketika rakyat terluka karena alkohol, pemimpin seharusnya hadir membawa penyembuhan, bukan malah menjadi pengiklan diam-diam sopi sebagai “kenyataan yang tidak bisa dilawan.”
Dalam konteks ini, pernyataan Abdullah Vanath bukan hanya patut dikritik, tetapi juga harus dievaluasi secara politik. Jika seorang wakil gubernur sudah tidak mampu menjaga integritas moral dalam kata-katanya, bagaimana mungkin publik berharap akan ada kebijakan yang beradab dan berpihak pada kemaslahatan?
Masyarakat Sipil Harus Bersuara
Maka dari itu, masyarakat sipil, tokoh agama, akademisi, dan generasi muda Maluku tidak boleh diam. Kita perlu bersuara tegas terhadap pemimpin yang menormalisasi keburukan atas nama realitas sosial. Bahwa sopi adalah kenyataan di Maluku, memang benar. Tapi membiarkannya tanpa regulasi dan membenturkan larangannya dengan gagasan bahwa “agama tidak mempan lagi” adalah bentuk kemalasan berpikir yang harus dilawan.
Agama, hukum, dan akal sehat harus tetap menjadi fondasi kita dalam membangun masyarakat yang sehat. Jika ada realitas sosial yang menyimpang, bukan ajaran Tuhan yang harus dikoreksi—melainkan cara kita mendidik, mengatur, dan memimpin masyarakat.
Maluku Butuh Pemimpin yang Waras
Maluku tidak kekurangan sumber daya alam. Tapi terlalu sering kita kekurangan pemimpin yang waras secara berpikir dan tulus secara niat. Pernyataan Abdullah Vanath hanyalah satu dari sekian banyak contoh betapa elite politik kita makin kehilangan kepekaan moral. Dan saat publik diam, maka kedunguan semacam ini akan menjadi standar baru dalam kepemimpinan.
Sudah saatnya kita berkata cukup. Maluku butuh pemimpin yang cerdas, bukan yang hanya sok pintar. Kita butuh yang rendah hati, bukan yang merendahkan ajaran suci demi melegalkan kenyataan pahit bernama sopi.(Redaksi)



















Discussion about this post