Penulis: Fadel Rumakat, Spi
SBT, Kilaskota.com —Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) menyimpan salah satu kekayaan alam yang kerap luput dari sorotan: sagu. Tanaman pangan lokal ini bukan hanya bagian dari identitas budaya Maluku, tetapi juga memiliki potensi strategis sebagai komoditas pangan masa depan. Di tengah krisis pangan global, perubahan iklim, dan degradasi lahan pertanian di berbagai daerah, sagu hadir sebagai jawaban karena tahan terhadap cuaca ekstrem, tidak membutuhkan pupuk kimia berlebihan, dan bisa tumbuh subur di lahan rawa yang minim persaingan dengan tanaman pangan lain.
Namun, potensi besar ini masih sebatas mimpi. Di lapangan, langkah pengembangan sagu di SBT berjalan lambat, nyaris seperti “menunggu hujan di musim kemarau.” Berbagai rencana strategis telah digaungkan, mulai dari wacana pembangunan pabrik pengolahan modern, integrasi rantai pasok, hingga pengembangan turunan produk seperti tepung sagu instan dan bioetanol. Tetapi, ketika menengok ke desa-desa penghasil sagu seperti di Pulau Gorom, Geser, dan Seram Timur, kenyataan berbicara lain: infrastruktur minim, teknologi pengolahan tradisional, dan akses pasar terbatas.
Mengapa Sagu SBT Penting?
Sagu bukan sekadar pangan lokal; ia adalah komoditas strategis. Dalam konteks ketahanan pangan nasional, sagu dapat menjadi cadangan pangan alternatif pengganti beras. Laporan FAO menyebutkan bahwa Indonesia adalah penghasil sagu terbesar dunia, dan Maluku—terutama SBT—memegang peranan vital. Selain itu, sagu memiliki nilai ekonomi tinggi bila diolah menjadi produk turunan: mie sagu, kue kering, pati sagu industri, hingga bioenergi.
Lebih dari itu, sagu adalah simbol kedaulatan pangan lokal. Ia tumbuh tanpa memerlukan subsidi pupuk, tidak merusak ekosistem rawa, dan dapat dipanen secara berkelanjutan. Bagi masyarakat adat SBT, sagu juga memegang nilai budaya, menjadi bagian dari tradisi, ritual, dan solidaritas sosial.
Kesenjangan Antara Visi dan Realita
Visi besar pengembangan sagu di SBT kerap terdengar di forum-forum pemerintah, seminar, dan rencana pembangunan daerah. Namun, realitanya, petani masih bekerja secara manual menggunakan metode lama, mengandalkan peralatan seadanya, dan menghadapi masalah pemasaran. Hasil panen sagu kerap dijual dalam bentuk basah dengan harga rendah, tanpa ada sistem distribusi yang menjamin stabilitas harga dan kualitas.
Pabrik pengolahan modern yang dijanjikan belum kunjung hadir. Jalan produksi menuju sentra sagu masih rusak, membuat biaya logistik tinggi. Program pendampingan petani seringkali bersifat seremonial dan tidak berkelanjutan. Bahkan, banyak generasi muda di desa mulai meninggalkan profesi sebagai pengolah sagu karena melihatnya tidak menjanjikan secara ekonomi.
Belajar dari Daerah Lain
Kita tidak perlu memulai dari nol. Papua, misalnya, telah membangun Sagu Center di Sentani dan Merauke untuk mengintegrasikan riset, pengolahan, dan pemasaran sagu. Malaysia di Sarawak bahkan sudah memposisikan sagu sebagai komoditas ekspor dengan pasar tetap di Jepang, Korea, dan Eropa. Mereka berhasil karena memiliki sinergi antara pemerintah daerah, peneliti, pelaku usaha, dan masyarakat adat.
SBT sebenarnya bisa meniru model ini, dengan penyesuaian konteks lokal. Apalagi, letak geografis SBT yang strategis di jalur perdagangan Laut Banda memberi peluang distribusi cepat ke Ambon, Surabaya, hingga pasar ekspor.
Langkah Konkret yang Dibutuhkan
Pertama, pembangunan infrastruktur dasar. Jalan produksi, dermaga kecil, dan gudang penyimpanan sagu kering adalah fondasi penting. Tanpa ini, percuma membicarakan ekspor atau industri turunan.
Kedua, penguatan kelembagaan petani sagu. Dibutuhkan koperasi atau BUMDes yang mengelola rantai pasok, mulai dari pembelian hasil panen dengan harga layak hingga penjualan ke pasar yang lebih luas.
Ketiga, inovasi teknologi pengolahan. Pemerintah dapat menggandeng perguruan tinggi dan lembaga riset untuk memperkenalkan mesin pengolahan semi-modern yang efisien dan higienis, tanpa menghilangkan nilai tradisi.
Keempat, promosi dan branding sagu SBT. Potensi pariwisata kuliner dapat menjadi pintu masuk. Festival Sagu, misalnya, bisa menjadi ajang promosi sekaligus membangun kebanggaan masyarakat terhadap produk lokal.
Kelima, dukungan kebijakan yang konsisten. Pengembangan sagu harus masuk dalam dokumen perencanaan jangka menengah daerah, dilengkapi regulasi perlindungan lahan sagu dari alih fungsi.
Mimpi yang Bisa Jadi Nyata
Mimpi besar sagu SBT tidaklah mustahil. Ia hanya butuh keberanian untuk berpindah dari wacana ke aksi. Jika Papua, Sarawak, dan negara-negara lain bisa, mengapa SBT tidak? Apalagi, sagu bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga warisan budaya dan sumber ketahanan pangan.
Langkah kecil di lapangan—seperti memperbaiki akses jalan ke sentra sagu, memberi pelatihan teknologi sederhana, dan memastikan petani mendapat harga layak—akan menjadi batu pijakan untuk mimpi besar itu. Karena pada akhirnya, mimpi hanya akan tetap menjadi mimpi jika tidak ada tindakan nyata.
SBT punya modal besar: lahan luas, tradisi kuat, dan masyarakat yang masih mengenal nilai sagu. Tinggal bagaimana pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat bergerak bersama. Kita tidak kekurangan ide; yang kita butuhkan adalah kemauan politik, manajemen yang konsisten, dan keberpihakan nyata kepada petani.
Jika semua itu dilakukan, bukan tidak mungkin suatu hari nanti, sagu SBT akan dikenal bukan hanya di Maluku atau Indonesia, tetapi juga di pasar dunia. Dan ketika itu terjadi, kita bisa berkata bahwa mimpi besar itu lahir dari langkah-langkah kecil yang konsisten di lapangan.(Redaksi)


















Discussion about this post