Penulis: Fadel Rumakat Pegiat Sosial, Wakil Ketua KNPI MALUKU
Ambon, Kilaskota.com —Dalam dunia politik, simbol sering kali berbicara lebih nyaring daripada kebijakan. Dan di Maluku hari ini, simbol-simbol itu hadir dalam bentuk perjamuan mewah, baliho besar, seremoni elite, dan pertemuan-pertemuan tertutup yang lebih menonjolkan estetika kekuasaan daripada substansi kepemimpinan. Fenomena ini tampak jelas dalam gaya politik duet Hendrik Lewerissa dan Abdullah Vanath HL-AV—yang kini menjadi sorotan publik.
Ungkapan “jamuan apel dan anggur” bukan tanpa makna. Ia menggambarkan bentuk kekuasaan yang menjauh dari denyut nadi rakyat. Di satu sisi, HL-AV datang dengan narasi besar bertajuk Sapta Cipta—sebuah agenda tujuh pilar pembangunan Maluku. Namun di sisi lain, narasi ini justru makin kehilangan konteksnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Tak sulit menemukan paradoks dalam kepemimpinan mereka. Saat angka kemiskinan di Maluku masih tinggi (BPS Maluku mencatat 16,23 persen per Maret 2024), dan infrastruktur dasar di wilayah seperti Seram, Maluku tenggara, Buru, Buru Selatan,Kepulauan Aru, dan Maluku Barat Daya belum memadai, justru publik disuguhi pemberitaan tentang renovasi rumah jabatan senilai miliaran rupiah, serta agenda-agenda seremoni yang tak sedikit menguras anggaran. Kehadiran HL-AV dalam forum-forum publik juga lebih sering disertai barisan pengusaha dan elite politik dibandingkan representasi rakyat akar rumput.
Padahal, Maluku membutuhkan pemimpin yang turun langsung ke lapangan. Masyarakat adat di Pulau Buru masih berjuang menolak tambang emas ilegal yang mencemari lingkungan mereka. Di Kepulauan Kei, konflik agraria antara masyarakat dan PT Batulicin, PT Space Island Maluku di Dusun Pelita Jaya belum terselesaikan. Para nelayan di Seram Barat pun terancam kehilangan sumber penghidupan akibat ekspansi industri kelautan yang minim pengawasan lingkungan.
Sayangnya, HL-AV belum menunjukkan respons signifikan atas isu-isu tersebut. Tidak ada langkah strategis yang jelas, apalagi keberpihakan yang kuat kepada rakyat terdampak. Sebaliknya, pendekatan pemerintah daerah justru terkesan menghindar dari konflik dan lebih fokus pada pembangunan yang bersifat simbolik.
Ketika masyarakat menuntut transparansi dan penyelesaian kasus-kasus lama—seperti skandal reboisasi yang menyeret nama-nama pejabat penting, serta dugaan pembiaran korupsi di sektor jalan nasional—pemerintah provinsi seolah mengambil sikap diam. Padahal, kepercayaan publik hari ini sangat ditentukan oleh keberanian pemimpin dalam membuka kembali lembaran masa lalu yang belum tuntas.
Tidak hanya itu, kinerja birokrasi di bawah HL-AV juga dinilai stagnan. Sejumlah program prioritas yang digadang-gadang dalam 100 hari kerja, seperti digitalisasi pelayanan publik, penataan ulang APBD berbasis kinerja, hingga reformasi BUMD, masih berada dalam tahap wacana. Padahal, waktu terus berjalan, dan rakyat tidak menunggu seremoni.
Di sisi lain, gaya komunikasi HL-AV juga patut disoroti. Keterbukaan informasi publik, termasuk soal proyek strategis daerah, belum sepenuhnya dijalankan. Akses terhadap data anggaran, pengadaan barang dan jasa, serta rekam jejak pejabat yang ditunjuk, minim partisipasi masyarakat sipil. Hal ini mengindikasikan adanya kemunduran dalam prinsip transparansi dan akuntabilitas yang dijanjikan dalam kampanye mereka.
Jamuan apel dan anggur dalam politik bukan sekadar soal makanan dan meja pertemuan. Ia mencerminkan pilihan gaya kepemimpinan: apakah berorientasi pada pelayanan publik, atau justru pada pembentukan citra kekuasaan. Jika HL-AV memilih untuk terus mempertahankan politik simbolik tanpa membenahi persoalan struktural, maka Maluku berisiko tersandera oleh kepemimpinan yang indah di permukaan, namun kosong di dalam.
Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pintar beretorika, tetapi berani membongkar kenyataan yang pahit. Yang tak sekadar menggelar jamuan bagi elite, tetapi juga memastikan rakyat kecil bisa makan tiga kali sehari, mendapat air bersih, pendidikan layak, dan hidup di lingkungan yang sehat.
Sejarah politik Maluku tidak akan mencatat jumlah meja makan atau tamu kehormatan di Gedung Putih Maluku, tetapi pada keputusan-keputusan sulit yang pernah diambil untuk menyelamatkan masa depan rakyatnya.
Jika HL-AV ingin dikenang sebagai pemimpin yang merestorasi harapan Maluku, maka waktunya sekarang. Bukan dengan anggur dalam gelas kristal, melainkan dengan langkah konkret yang dirasakan oleh mereka yang selama ini berada di luar lingkaran jamuan kekuasaan.(Redaksi)


















Discussion about this post