Penulis: Poyo Sohilauw Mahasiswa pascasarjana IAIN Ambon
Salah satu argumen sentral karya levitsky dalam karya How democracies die adalah bahwa ancaman terhadap demokrasi di era modern sering kali tidak datang melalui kekerasan, tetapi melalui proses yang tampaknya legal dan konstitusional. Para pemimpin otoriter modern menggunakan institusi demokrasi seperti pemilu, parlemen, dan pengadilan untuk melemahkan demokrasi itu sendiri. Mereka melakukan ini secara bertahap, melalui perubahan hukum, kontrol terhadap media, dan pengabaian norma – norma politik.
Analisis ini sangat relevan dengan konteks global hari ini, di mana banyak negara mengalami kemunduran demokrasi (democratic backsliding). Bagaimana retorika populis dan polarisasi politik dapat dimanfaatkan untuk melegitimasi konsolidasi kekuasaan oleh aktor otoriter.
Untuk itu penekananan pada pentingnya norma politik informal, seperti *mutual toleration* (toleransi terhadap oposisi) dan *forbearance* (kesabaran dalam menggunakan kekuasaan). Demokrasi tidak hanya bertumpu pada aturan hukum, tetapi juga pada praktik-praktik politik yang tidak tertulis. Ketika norma-norma ini dilanggar, demokrasi menjadi rapuh.
Perspektif ini mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak hanya soal prosedur, tetapi juga soal budaya politik. Dalam kasus negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, pelajaran ini penting untuk memastikan bahwa norma-norma demokrasi tetap dijaga di tengah tantangan politik. Polarisasi politik ekstrem adalah salah satu faktor utama yang melemahkan demokrasi. Ketika perbedaan ideologi berubah menjadi kebencian antar kelompok, aktor politik cenderung mengabaikan aturan main demokrasi demi mengalahkan lawan mereka. Polarisasi ini membuka jalan bagi munculnya otoritarianisme.
Dalam konteks Indonesia, katakanlah di maluku, kita dapat melihat bagaimana isu-isu identitas dan polarisasi politik dapat mengancam stabilitas demokrasi, Opini ini memberikan gambaran tentang bagaimana menjaga integritas demokrasi dengan mendorong dialog antar kelompok dan mengurangi retorika yang memecah belah, juga evaluasi atas kinerja teknis penyelenggaraan pemilu ( KPU ) di maluku.
*Sejarah sebagai Pelajaran*
Jerman di era Weimar, Chile di era Allende, dan Amerika Serikat di bawah Donald Trump. Mereka menunjukkan bahwa keruntuhan demokrasi sering kali dimulai dengan kompromi oleh elit politik yang mengizinkan aktor otoriter naik ke tampuk kekuasaan. Peristiwa – peristiwa ini memberikan pelajaran tentang pentingnya kewaspadaan terhadap aktor-aktor yang menunjukkan kecenderungan otoriter, bahkan ketika mereka berasal dari sistem demokrasi itu sendiri. Untuk itu Demokrasi bisa bertahan jika warga negara dan institusi tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi. Perlawanan sipil, media independen, dan partisipasi masyarakat menjadi kunci dalam menjaga demokrasi tetap hidup.
Demokrasi adalah sistem yang rapuh dan membutuhkan perawatan yang terus-menerus. Dalam menghadapi ancaman modern, masyarakat harus sadar bahwa kehancuran demokrasi tidak selalu selalu berawal dari kekuatan fisik, demokrasi bisa mati perlahan ketika norma dan institusi demokrasi diabaikan, penting bagi masyarakat untuk terus menjaga komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi.
KPU di Maluku dihadapkan pada tantangan logistik yang signifikan akibat kondisi geografis kepulauan. Penyelenggaraan pemilu di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil sering kali terkendala transportasi, cuaca buruk, serta kurangnya infrastruktur dasar. Evaluasi perlu dilakukan terkait efektivitas distribusi logistik pemilu, seperti surat suara, kotak suara, dan perangkat elektronik lainnya jika digunakan.
*Pendidikan Pemilih*
Sejauh ini Tingkat partisipasi pemilih di Maluku perlu diimbangi dengan kualitas pemahaman masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka sebagai pemilih. Program pendidikan pemilih yang menyasar masyarakat di wilayah terpencil, kelompok adat, dan generasi muda harus lebih diperkuat untuk memastikan kesadaran politik masyarakat semakin meningkat hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dicita-citakan oleh semua khalayak, hal ini berdasar yakni sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum ( PKPU ), Pemilihan Umum ( Pemilu ) yang diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024 menuai presentase partisipasi pemilih sebesar 76,61 persen sedangkan pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) hanya 70,55 persen dari jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pilkada sebanyak 1.332.149, ternyata yang menggunakan hak pilih hanya 939.790 pemilih. Artinya orang yang tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak -+392.359 orang dan ini suatu kemunduran.
Apa dasarnya?
Rp. 178 milyar lebih atau lebih tepatnya
Rp. 178.575.843.200. merupakan dana yang terbilang fantastis yang telah dicairkan 100% untuk pembiayaan Pilkada serentak 2024 sesuai Naskah Perjanjian Hibah Daerah Provinsi Maluku, oleh karena partisipasi pemilih tidak sesuai dengan yang kita harapkan, sesuai undang – undang 15 tahun 2004 dan tahun 2006 kita minta untuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Maluku agar segera memeriksa KPU atas penggunaan hibah pemerintah tersebut.
Bukan soal kurang atau lebih, yang kita harapkan ialah transparansi dan pengunaan anggaran yang tepat sasaran jangan hanya euforia belaka, di Maluku problem dasar katong itu korupsi maka 2025 ini kita berharap hal – hal semisal itu jangan lagi terjadi.
Begitu juga deng sinyal – sinyal ini, efektifnya pemilu maupun pilkada juga didukung oleh infrastruktur telekomunikasi, dari pemilu ke pilkada problem ini selalu jadi utama yakni akses informasi terbatas, pelaporan rekapitulasi berbasis online terbengkalai beberapa waktu hal dasar ini perlu di priori untuk kepentingan masyarakat kedepan bukan hanya soal momentum pemilu maupun pilkada namun ini tuntutan yang harus diselesaikan pemerintah.
Masa depan demokrasi di Maluku bergantung pada kolaborasi antara penyelenggara pemilu, pemerintah, masyarakat sipil, dan pemilih itu sendiri. Perbaikan menyeluruh dalam manajemen pemilu, peningkatan literasi politik, serta pemberdayaan masyarakat akan menjadi fondasi kuat untuk mewujudkan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.(KK-01)


















Discussion about this post