Ambon, Kilaskota.com —Penetapan tersangka terhadap direktur RS Pratama Pulau Gorom oleh Kejaksaan Cabang Geser dinilai cenderung diskruminatif. Hal ini diungkapkan Ketua Pelopor Hidayat Warawara pada, Selasa (24/6/2026).
Hidayat menyatakan sikap tegas menolak praktik penegakan hukum yang tidak adil dan cenderung diskriminatif, menyusul penahanan kembali Direktur Rumah Sakit Pratama Pulau Gorom oleh Kejaksaan Negeri Seram Bagian Timur Cabang Geser, dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Unit Transfusi Darah (UTD) dan Bangunan Dalam Rangka Standar Rumah Sakit (BDRS).
Dirinya menilia, bahwa proses hukum yang dijalankan Kejaksaan telah menyimpang dari asas keadilan dan objektivitas. Pasalnya, direktur RS Pratama Pulau Gorom sebelumnya telah mengajukan praperadilan atas status tersangka pada tahun lalu dan dinyatakan menang oleh Pengadilan. Namun kini, Jaksa kembali menetapkan beliau sebagai tersangka bahkan sampai melakukan penahanan.
“Ini jelas bentuk kriminalisasi dan pemaksaan proses hukum. Kalau pengadilan telah menyatakan tidak sah penetapan tersangka sebelumnya, lalu sekarang ditetapkan lagi tanpa alasan hukum yang kuat, maka ini bisa disebut bentuk pelecehan terhadap putusan pengadilan,” Tegas Hidayat
Ketua Pelopor ini juga menyoroti proyek UTD dan BDRS di RS Pratama Pulau Gorom telah selesai dan saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat, sehingga tidak ada kerugian negara dari sisi manfaat. Penetapan tersangka terhadap Direktur RS dan Wakil Direktur perusahaan sebagai pelaksana justru menyasar pihak-pihak yang tidak menikmati hasil proyek, melainkan mereka yang bertindak demi pelayanan publik.
“Direktur RS menandatangani dokumen karena ingin masyarakat segera mendapatkan layanan kesehatan yang layak, bukan karena ada niat untuk memperkaya diri sendiri. Ini harusnya dilihat sebagai bagian dari keberanian moral, bukan justru dipidana,” Ujarnya.
Aktivis muda asal Seram Bagian Timur ini menduga kuat, ada aktor lain yang justru berperan dalam pengaturan dan pengendalian proyek, namun tidak disentuh oleh hukum. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Kejaksaan Cabang Geser tidak independen dan berlaku tebang pilih.
Untuk itu, Pelopor secara kelembagaan mendesak Kejaksaan Agung dan Kejati Maluku melakukan evaluasi atas kinerja Kejaksaan Cabang Geser. Serta Meminta pembebasan dan penghentian proses hukum terhadap Direktur RS Pratama yang telah menang praperadilan, dan menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk mengawal kasus ini demi mencegah kriminalisasi terhadap pejabat yang bekerja demi kepentingan daerah.
“Penegakan hukum harus adil, profesional, dan berdasarkan fakta, bukan kepentingan,” Tutup Hidayat
Sementara dalam poin putusannya praperadilan dijelaskan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUJ/XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, Sema 4 Tahun 2016 Surat Edaran Kejaksaan Nomor 845/F/Fjp/05/2018 tentang Petunjuk Teknis Pola Penanganan Perkara Tindak pidana khusus yang berkualitas, dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, MENGADILI:
1. Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk sebagian.
2. Menyatakan Penetapan Tersangka Terhadap Pemohon Lahmudin Kelilauw berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-101/Q.1.17.9/Fd.1/07/2024 tanggal 17 Juli 2024 Adalah tidak sah dan batal demi hukum.
3. Memerintahkan Termohon untuk menghentikan Penyidikan terhadap Pemohon.
4. Menyatakan tidak sah segala Keputusan atau Penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penyidikan dan Penetapan Tersangka terhadap Pemohon.
5. Memerintahkan Termohon untuk memulihkan nama baik Pemohon dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabat seperti sebelum di tetapkan sebagai Tersangka.
6. Membebankan biaya perkara yang timbul kepada Negara.(KK-01)



















Discussion about this post