Ambon, Kilaskota.com
Penulis : M. Rum Bugis Mahasiswa Universitas Pattimura
Dalam beberapa tahun terakhir, kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Maluku telah menjadi salah satu elemen penting dalam kehidupan sosial dan politik. LSM, pada dasarnya, dibentuk untuk menjadi motor penggerak perubahan, memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terpinggirkan, serta mengawal pembangunan yang berkeadilan. Namun, fenomena LSM tidak produktif yang digunakan sebagai alat politik sesaat kian mencoreng tujuan luhur tersebut.
Sejumlah LSM Perwakilan Teritorial (Nama) di Maluku diduga hanya muncul di saat-saat tertentu, terutama menjelang momentum politik seperti pemilu, pilkada, atau back up atas oknum petinggi tertentu. Alih-alih fokus pada program sosial yang bermanfaat bagi masyarakat, LSM jenis ini cenderung menjadi perpanjangan tangan kepentingan politik tertentu. Mereka sering kali memanfaatkan isu-isu sensitif untuk menciptakan kegaduhan atau menyerang lawan politik, counter issue atas oknum donatur. Akibatnya, kredibilitas dan independensi LSM sebagai pilar demokrasi menjadi ternodai.
Lebih memprihatinkan lagi, banyak di antara LSM ini yang tidak memiliki program kerja yang jelas, keberlanjutan operasional yang memadai, atau kontribusi nyata kepada masyarakat. Sebagian besar eksistensinya hanya sebatas ‘meminjam’ isu untuk kepentingan sesaat, Modal Flayer, melaksanakan agenda Formalitas kemudian hilang tanpa jejak setelah tujuan politis tercapai. Fenomena ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga menciptakan persepsi negatif terhadap LSM yang benar-benar bekerja untuk kepentingan publik.
Ketergantungan pada Politik Praktis
Ketika LSM menjadi alat politik sesaat, independensi mereka hilang. Mereka tidak lagi bekerja atas dasar nilai-nilai kemanusiaan atau kepentingan masyarakat, melainkan menjadi subordinat kekuatan politik tertentu. Hal ini bertentangan dengan esensi LSM sebagai organisasi masyarakat sipil yang netral.
LSM yang hanya muncul di momen tertentu cenderung mengabaikan keberlanjutan program-programnya. Setelah tujuan politis tercapai, masyarakat yang mereka advokasi sering kali ditinggalkan tanpa solusi jangka panjang. Tentu, Fenomena ini menciptakan stigma negatif terhadap semua LSM, termasuk yang memiliki dedikasi tinggi terhadap masyarakat. Hal ini bisa mengurangi kepercayaan publik dan dukungan terhadap LSM yang benar-benar bekerja sesuai prinsipnya.
Kita berharap dinawah Nahkoda Maluku yang baru, perlu adanya penertiban Instansi, mendorong penguatan regulasi terkait pendirian, operasional, dan akuntabilitas LSM. Mekanisme pengawasan yang lebih ketat dapat memastikan bahwa LSM yang beroperasi memiliki tujuan yang jelas dan berorientasi pada kepentingan publik.
Pada akhirnya, LSM yang produktif dan berintegritas adalah aset bagi demokrasi dan pembangunan bangsa. Oleh karena itu, publik dan pemangku kepentingan harus bersama-sama mencegah munculnya LSM yang hanya menjadi alat politik sesaat dan tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat luas.(KK-01),


















Discussion about this post