Penulis: Fadel Rumakat Pegiat Sosial
Jakarta, Kilaskota.com —Tahun ini, ketika pemerintah pusat mengumumkan daftar penerima gelar Pahlawan Nasional, nama AM Sangadji kembali tidak disebut. Kabar itu mungkin hanya sekilas di media, tapi bagi banyak orang Maluku, khususnya yang memahami sejarah pergerakan nasional, ini bukan sekadar absen administratif—ini adalah cermin betapa lemahnya daya tawar dan strategi politik kebudayaan Maluku di tingkat pusat.
AM Sangadji bukan nama kecil. Ia adalah bagian dari generasi pelopor pergerakan nasional yang menorehkan jejak nyata dalam perjuangan melawan kolonialisme. Kiprahnya di Sarekat Islam, keterlibatannya dalam gerakan anti-penjajahan, hingga peran intelektualnya dalam membangun kesadaran kebangsaan di masa-masa genting kemerdekaan seharusnya cukup menjadi alasan kuat untuk mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional. Namun, berkali-kali upaya itu kandas di meja birokrasi.
Kegagalan ini bukan sekadar persoalan teknis administrasi. Ini adalah persoalan politik—politik kebudayaan yang gagal dimaknai dan diperjuangkan secara strategis oleh Pemerintah Provinsi Maluku. Gubernur Maluku tampak tak memiliki kemampuan memadai untuk melobi, mengomunikasikan, dan memperjuangkan kepentingan sejarah daerahnya di hadapan pemerintah pusat. Ketika daerah lain agresif membangun jejaring dengan kementerian, akademisi, hingga media nasional untuk memperkuat narasi sejarah lokalnya, Maluku justru seolah berjalan sendiri tanpa arah diplomasi kultural yang jelas.
Kita tahu, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bukan hanya soal nilai sejarah semata, tetapi juga hasil dari kerja advokasi politik dan kebudayaan yang sistematis. Dibutuhkan kemampuan untuk menafsirkan ulang kontribusi tokoh daerah dalam kerangka kebangsaan, sekaligus menegosiasikan narasi itu agar diakui negara. Sayangnya, Pemerintah Provinsi Maluku tampak lemah dalam membangun narasi tersebut. Tidak ada konsolidasi yang kuat antara akademisi, sejarawan, tokoh adat, dan organisasi masyarakat sipil dalam memperjuangkan pengusulan ini.
Lebih ironis lagi, lemahnya lobi politik ini memperlihatkan pola lama yang terus berulang: para pemimpin Maluku lebih sibuk menjaga citra politik jangka pendek ketimbang membangun strategi kebudayaan jangka panjang. Padahal, pengakuan terhadap tokoh seperti AM Sangadji bukan hanya penghargaan personal, tetapi bentuk legitimasi simbolik atas kontribusi Maluku bagi Republik Indonesia.
Lemahnya atensi Gubernur Maluku di pusat juga terlihat dari absennya diplomasi kultural yang konsisten. Tak ada agenda yang kuat di Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau bahkan di Sekretariat Negara untuk menempatkan tokoh-tokoh Maluku dalam peta sejarah nasional. Jika pun ada inisiatif, itu lebih bersifat seremonial ketimbang strategis. Maluku kehilangan momentum membangun narasi kebangsaan dari wilayah timur yang pernah melahirkan pemikir, pejuang, dan pelopor pergerakan nasional.
Kegagalan memperjuangkan AM Sangadji menjadi Pahlawan Nasional harusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah. Ini menandakan tidak adanya sistem kerja budaya yang terorganisasi di birokrasi Maluku. Provinsi ini tampaknya tidak memiliki blueprint kebijakan kebudayaan yang menjadikan sejarah dan tokoh-tokoh lokal sebagai sumber kebanggaan dan diplomasi identitas. Sebaliknya, penghargaan terhadap sejarah dan tokoh lokal sering kali hanya muncul di momentum peringatan hari besar nasional, tanpa ada tindak lanjut yang serius.
Sementara itu, daerah lain berhasil memanfaatkan momentum politik nasional untuk mengangkat tokoh-tokohnya. Gorontalo misalnya, dengan gigih memperjuangkan Nani Wartabone hingga akhirnya diakui. Sulawesi Selatan berhasil mendorong nama Andi Depu, sementara Jawa Tengah konsisten mempromosikan pahlawan dari berbagai kota melalui riset akademik dan diplomasi politik yang solid. Di titik ini, kegagalan Maluku bukanlah karena tokohnya tak layak, tetapi karena pemerintahnya tak piawai memainkan politik kebudayaan.
Pemerintah pusat memang memegang kewenangan formal, tetapi inisiatif dan energi utamanya tetap berasal dari daerah. Maka, kegagalan AM Sangadji masuk daftar penerima gelar tahun ini tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab moral dan politik Gubernur Maluku. Gubernur seharusnya mampu menjadi jembatan antara aspirasi lokal dan pengakuan nasional. Ia mesti menggerakkan tim ahli, menyiapkan riset akademik yang kuat, dan melakukan pendekatan lintas kementerian agar pengusulan tokoh-tokoh Maluku mendapat atensi serius.
Kepemimpinan daerah yang hanya berorientasi pada proyek fisik tanpa strategi kebudayaan akan terus menempatkan Maluku dalam posisi pinggiran. Padahal, dalam geopolitik Indonesia Timur, Maluku punya potensi besar untuk tampil sebagai pusat narasi sejarah maritim dan peradaban kepulauan. AM Sangadji adalah simbol dari semangat itu—seorang intelektual yang menjembatani kesadaran lokal dan nasional. Kegagalannya diakui sebagai pahlawan mencerminkan kegagalan kita memaknai jati diri sendiri.
Sudah saatnya Pemerintah Provinsi Maluku membangun roadmap kebudayaan yang terukur. Pengusulan gelar pahlawan nasional tidak boleh berhenti pada seremoni, tetapi harus disertai kerja advokasi, riset sejarah, dan diplomasi publik yang berkelanjutan. Sejarah bukan hanya arsip masa lalu, melainkan arena kontestasi makna. Dan di arena itu, Maluku tidak boleh terus menjadi penonton.
AM Sangadji mungkin belum diakui negara tahun ini. Namun yang lebih memalukan adalah ketika pemimpinnya sendiri tak mampu memperjuangkan pengakuan itu.(Rekdaksi)


















Discussion about this post