Penulis: Fadel Rumakat Aktivis Muda Maluku
Ambon, Kilaskota.com —Di Maluku, nama rakyat sering kali menjadi mantra sakti. Ia dipakai untuk membungkus hampir semua kebijakan dan inisiatif pejabat publik, seolah setiap langkah semata-mata demi kesejahteraan masyarakat. Namun dalam praktiknya, kepentingan rakyat kerap hanya jadi bungkus retoris, sementara substansi yang mengemuka adalah bisnis dan akumulasi keuntungan pribadi. Fenomena ini tampak jelas dalam jejak ekonomi Wakil Gubernur Maluku, yang dalam beberapa tahun terakhir aktif mempromosikan budidaya pala hingga tambak udang dengan narasi besar “untuk rakyat.”
Sejak awal, komoditas pala dijadikan simbol kebangkitan ekonomi Maluku. Dengan sejarah panjang sebagai rempah strategis dunia, pala kembali dijual sebagai kebanggaan identitas sekaligus pintu ekspor. Wagub Maluku gencar mengampanyekan peningkatan produksi pala, bahkan menghadirkan investor untuk memperluas skala industri. Narasi yang dibangun sederhana: meningkatkan ekspor pala berarti meningkatkan pendapatan petani. Namun, fakta lapangan menunjukkan tidak sesederhana itu.
Pertama, sebagian besar petani pala di Maluku tidak memiliki akses ke pasar ekspor. Mereka tetap bergantung pada pengepul yang memainkan harga. Kedua, industrialisasi pala lebih banyak menguntungkan kelompok pemodal yang mampu menguasai rantai distribusi, bukan petani kecil. Ketiga, program pemerintah untuk revitalisasi pala sering berhenti pada seremoni penanaman dan janji bibit unggul tanpa keberlanjutan. Dengan kata lain, pala lebih menjadi komoditas politik ketimbang solusi ekonomi rakyat.
Kini, pola yang sama muncul dalam promosi budidaya udang. Wagub Maluku dengan lantang menyebut tambak udang sebagai masa depan ekonomi daerah. Retorikanya: Maluku memiliki garis pantai panjang, laut yang bersih, dan potensi perikanan yang melimpah—semua modal itu harus dimanfaatkan untuk industri tambak modern. Sekilas, narasi ini terdengar logis. Tetapi, siapa sebenarnya yang akan menguasai tambak-tambak udang itu?
Pengalaman di berbagai daerah lain di Indonesia menunjukkan bahwa industri tambak udang super-intensif umumnya melibatkan investasi besar. Modal miliaran rupiah diperlukan untuk lahan, infrastruktur, hingga sistem manajemen air. Petani kecil nyaris mustahil masuk dalam skema ini kecuali sebagai buruh murah. Apabila model investasi semacam ini didorong di Maluku, besar kemungkinan rakyat hanya menjadi penonton—atau bahkan korban—dari proyek-proyek yang dipromosikan “atas nama mereka.
Selain itu, ekspansi tambak udang berpotensi menimbulkan persoalan lingkungan yang serius. Perubahan ekosistem pesisir, pencemaran limbah, hingga konflik lahan dengan masyarakat adat bisa muncul sewaktu-waktu. Ironisnya, isu-isu krusial seperti ini jarang disentuh dalam narasi optimistis sang Wagub. Lagi-lagi, rakyat ditempatkan hanya sebagai ornamen legitimasi, bukan sebagai subjek utama pembangunan.
Pertanyaan mendasar kemudian muncul: apakah orientasi kebijakan ini benar-benar berpihak pada rakyat atau sekadar memperluas portofolio bisnis elit politik daerah? Bila menilik jejak retoris dari pala ke udang, pola framing yang berulang terlihat jelas. Proyek-proyek ekonomi besar dilabeli sebagai strategi menyejahterakan masyarakat, padahal mekanisme partisipasi rakyat nyaris tidak pernah dijamin.
Kritik ini penting, sebab konsekuensinya menyangkut arah pembangunan Maluku ke depan. Jika strategi pembangunan hanya menjadi etalase investasi tanpa memastikan distribusi keuntungan yang adil, maka kesenjangan akan semakin melebar. Maluku bisa saja mencatat kenaikan nilai ekspor pala dan udang, tetapi angka kemiskinan di desa-desa tetap stagnan. Rakyat tidak otomatis sejahtera hanya karena komoditas daerahnya diperdagangkan di pasar global.
Lebih jauh, cara-cara framing bisnis atas nama rakyat ini juga berbahaya bagi demokrasi lokal. Ia menciptakan ilusi bahwa pemimpin selalu hadir demi kepentingan bersama, padahal kepentingan pribadi dan kelompoknya terselip di balik layar. Dalam jangka panjang, legitimasi politik dibangun di atas propaganda kesejahteraan semu. Rakyat yang kritis terhadap kebijakan mudah dilabeli “anti pembangunan,” sementara pejabat bebas bergerak dengan stempel populis.
Tentu, tidak ada yang salah dengan inovasi ekonomi berbasis pala maupun udang. Maluku memang butuh terobosan untuk keluar dari jebakan daerah kaya sumber daya tetapi miskin pengelolaan. Namun, pendekatan yang dipilih mestinya transparan, partisipatif, dan benar-benar mengakar pada kebutuhan rakyat. Bukan sekadar menjadikan nama rakyat sebagai jubah politik untuk melindungi kepentingan bisnis segelintir elit.
Karena itu, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, setiap proyek strategis seperti budidaya udang harus dibuka secara transparan, mulai dari siapa investor yang terlibat, berapa modal yang digelontorkan, hingga bagaimana skema bagi hasilnya. Kedua, rakyat harus dilibatkan sejak awal dalam perencanaan, bukan hanya dijadikan obyek seremoni. Ketiga, keberlanjutan lingkungan harus menjadi syarat mutlak, sebab kerusakan ekosistem pesisir akan langsung menghantam kehidupan masyarakat Maluku yang mayoritas hidup dari laut.
Kita tidak boleh lagi terjebak pada retorika “atas nama rakyat” yang hanya berfungsi sebagai bendera. Maluku sudah terlalu lama hidup dalam paradoks: kaya akan sumber daya, tetapi rakyatnya tetap miskin. Jika elit politik masih terus menjadikan bisnis sebagai prioritas pribadi lalu mengklaimnya demi rakyat, maka masa depan pembangunan hanya akan menjadi sandiwara panjang.
Jejak dari pala ke udang seharusnya memberi pelajaran, bukan sekadar catatan keberulangan. Rakyat Maluku membutuhkan pemimpin yang tidak hanya piawai berbisnis, tetapi juga berani memastikan setiap keuntungan yang dihasilkan kembali pada mereka yang paling berhak: rakyat itu sendiri.(Redaksi)



















Discussion about this post